Sabtu, 10 Juni 2017

Pilkada Jakarta



PILKADA

PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH (PEMILUKADA)

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah" atau "Pemilukada".
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pemilukada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pemilukada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Khusus di Kota Tangerang, Pemilukada Kota Tangerang atau  Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Tangerang secara langsung pertamakali diselenggarakan oleh KPU Kota Tangerang pada hari Minggu tanggal 26 Oktober 2008 (hari Pemungutan Suara) dengan jumlah 3 (tiga) peserta pasangan calon, yaitu: 1). Wahidin Halim & Arief Wismansyah (Koalisi Parpol), 2). M Bonnie Mufidjar & Diedy Faried Wadjdi (PKS), dan 3). Ismet Sadeli Hasan & KH Mahfud (Jalur Calon Perseorangan).

Setelah memenangkan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Tangerang --berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri-- Bapak H. Wahidin Halim dan H. Arief R Wismansyah dilantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Tangerang periode 2008-2013 pada hari Minggu tanggal 16 November 2008 oleh Gubernur Provinsi Banten Ibu Hj. Ratu Atut Chosiah di Ruang Sidang Paripurna DPRD, Gd. Pusat Pemerintahan Lt. 3 Jl. Satria Sudirman No. 1 Kota Tangerang.[1]

Didalam UU RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pengertian pemilukada adalah ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara   Kesatuan   Republik   Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun sejak ditetapkannya UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu istilah Pemilukada diuraikan langsung sehingga menjadi ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Untuk pelaksanaan UU RI Nomor 15 Tahun 2011, khususnya tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota belum diikuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait erat dengan persoalan tersebut, antara lain; UU RI Nomor 32 tahun 2004 dan perubahannya, PP Nomor 6 tahun 2005 dan perubahannya, dan Peraturan-peraturan KPU. Peraturan KPU tentang pemilukada pada tahun 2012, hanya satu yang telah ditetapkan, yaitu: Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Didalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pengertian pemilukada adalah sebagai berikut:
“Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selanjutnya disebut Pemilukada adalah pemilihan umum untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Persyaratan Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a.      bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c.       berpendidikan paling rendah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sederajat;
d.      berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun bagi calon Gubernur/Wakil Gubernur dan berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, pada saat pendaftaran;
e.      sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim pemeriksa kesehatan;
f.        tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g.      tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h.      mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i.        menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j.        tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
k.       tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l.        memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
m.    menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
n.      belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
o.      tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah. [2]


Partai Politik/Gabungan Partai Politik Yang berhak Mengusung Pasangan Calon & Syarat Dukungan Calon Perseorangan pada Pemilukada

Adapun Partai Politik/Gabungan Partai Politik Yang berhak Mengusung Pasangan Calon & Syarat Dukungan Calon Perseorangan pada Pemilukada adalah sebagai berikut:
1)      Partai Politik/Gabungan Partai Politik
a)      Pasal 59 Ayat (2) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
b)      Pasal 6 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah:
(1)   Dalam hal bakal pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD, penghitungan dilakukan dengan cara menjumlahkan perolehan kursi gabungan partai politik sehingga diperoleh jumlah kursi paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari jumlah kursi DPRD.
(2)   Dalam hal hasil penjumlahan kursi partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD tidak mencukupi 15% (lima belas perseratus) dari jumlah kursi DPRD, maka penghitungan dilakukan berdasarkan perolehan suara sah paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terakhir di daerah yang bersangkutan.
(3)   Dalam hal bakal pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dengan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, penghitungan dilakukan dengan cara menjumlahkan perolehan suara sah gabungan partai politik sehingga diperoleh jumlah suara sah paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD yang bersangkutan.
(4)   Dalam hal bakal pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, penghitungan suara sah dilakukan dengan cara menjumlahkan perolehan suara sah gabungan partai politik sehingga diperoleh jumlah suara sah paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD yang bersangkutan.
2)      Calon Perseorangan
a)      Pasal 59 Ayat (2b) huruf d UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen)”.
b)      Pasal 59 Ayat (2d) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2b) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud”.
c)      Pasal 59 Ayat (2e) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Dukungan dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. (AMd)



PEMILIHAN UMUM (PEMILU)
Draf RUU Pemilu yang menjadi pijakan pelaksanaan Pemilu 2019 telah diserahkan ke DPR. Ada beberapa poin krusial terkait RUU Pemilu tersebut. Salah satunya adalah tentang sistem pemilu yang menggunakan proporsional terbuka terbatas.
Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas ini sebagaimana tercantum di pasal 138, yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 138
(2) Pemilu untuk memilih memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas.
(3) Sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik
Sementara terkait mekanismenya, diperjelas dalam lampiran penjelasan di RUU Pemilu soal pasal 138:
Yang dimaksud dengan “daftar calon terbuka” adalah daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dicantumkan dalam surat suara Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara berurutan yang ditetapkan oleh partai politik.
Yang dimaksud dengan “daftar nomor urut calon yang terikat” adalah daftar nomor urut calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh partai politik secara berurutan yang bersifat tetap.
Jika poin tersebut nantinya disetujui, maka Pemilu 2019 akan berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2014, digunakan sistem proporsional terbuka, yaitu pemilih bisa mencoblos nama calon anggota legislatif selain hanya mencoblos gambar partai. Hal ini juga berbeda dengan sistem proporsional tertutup, dimana pemilih hanya mencoblos gambar partai.
Sistem proporsional terbuka terbatas yang diajukan pemerintah diklaim sebagai perpaduan keduanya. Pemilih bisa melihat daftar calon anggota legislatif di partai tersebut, tetapi urutan para calon itu tetap merupakan kewenangan partai.
Berdasarkan jadwal, RUU Pemilu ini akan dibawa ke rapat paripurna DPR, pada Rabu (26/10) mendatang. Selanjutnya, akan dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah di masa sidang berikutnya.
Sebelumnya, melalui pesan yang berantai di media sosial, Minggu (23/10) Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui Direktur Eksekutifnya, Titi Anggraeni, telah memetakan poin-poin krusial dalam RUU Pemilu sebagai berikut:
  1. Sistem pemilunya proporsional tertutup/PR closed list. Kalau bahasa RUU, sistem pemilu ‘terbuka terbatas’.
  2. Batas ambang parlemen tidak berubah yakni 3,5% hanya untuk DPR RI dan tidak berlaku untuk DPRD.
  3. Alokasi kursi 3-10. Total kursi DPR 560 kursi. Alokasi kursi DPRD 3-12.
  4. Metode konversi suara menggunakan Sainte Lague Modifikasi. Perolehan suara parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7; dst.
  5. Alokasi kursi 560 dibagi ke 78 dapil (dapil baru Kaltara dengan 3 kursi, Kaltim tinggal 5).
    PT (parliamentary threshold) atau ambang batas perwakilan 3,5% hanya untuk DPR RI. Tidak berlaku untuk DPRD.
  6. Untuk mengusung calon presiden partai atau gabungan partai harus memilii kursi 20% atau suara 25% dari hasil pemilu sebelumnya. Bagi parpol baru bisa bergabung dengan parpol yang memenuhi syarat di atas.
  7. Mencoblos nomor urut partai atau gambar partai, tidak mencoblos caleg meski daftar caleg ada di surat suara.
  8. Penentuan calon terpilih berdasar nomor urut.
  9. Anggota Bawaslu Provinsi 5 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota jadi permanen dengan anggota 5 orang.
  10. Usia anggota KPU/Bawaslu RI minimal 45 tahun, maksimal 65 tahun. Masa jabatan maksimal 2 periode. (shn)

Pendapat tentang pelaksanaan pilkada DKI 2017
Sejumlah lembaga telah melansir hasil jajak pendapat Pilkada DKI putaran kedua.
Hasilnya semua menunjukkan bahwa Anies-Sandi akan memenangkan pemilihan, termasuk survei yang dilakukan oleh lembaga yang menjadi konsultan Ahok-Djarot. Bedanya pada selisih perolehan suara, dengan yang terendah 1 persen, dan tertinggi 8,7 persen.
Konsultan Ahok-Djarot menampilkan data selisih perolehan suaranya sangat tipis dan masih dalam rentang margin error. Artinya masih terbuka peluang Ahok-Djarot menang.
Sementara lembaga yang independen, menyebutkan selisih perolehan suaranya sangat signifikan. Perlu usaha yang sangat keras agar Ahok-Djarot bisa membalikkan keadaan.
Sangat bisa dipahami mengapa konsultan atau lembaga yang mendukung Ahok-Djarot tidak merilis hasil survei yang merugikan mereka. Jika kita cermati ada dua langkah yang mereka lakukan.
Pertama, sama sekali tidak mempublikasikan hasil surveinya, karena selisih suaranya yang terlampau besar.
Kedua, ada yang tetap mempublikasikan hasilnya, namun dengan beberapa “perlakuan”.
Setidaknya ada empat alasan mengapa ada lembaga survei yang memutuskan sama sekali tidak mempublikasikannya.
  • Pertama, hasil survei tersebut jelas akan merugikan kandidat yang didukungnya, karena akan mempengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihannya. Mereka ini sering disebut sebagai undecided voter yang secara psikologis cenderung mengikuti suara terbanyak.
  • Kedua, memberi tekanan kepada pemilih yang telah memutuskan memilih kandidat tersebut, namun tingkat militansinya rendah. Mereka ini pemilih labil. Begitu tahu calon yang didukungnya kalah dalam survei, mereka bisa mengalihkan pilihannya.
  • Ketiga, tidak sesuai dengan pesanan pemberi order. Tidak perlu ada judgment alias penilaian negatif terhadap mereka. Karena sebagai lembaga profesional mereka memang menerima bayaran. Jadi, ya, wajar-wajar saja. Untuk apa membuat publikasi yang merugikan klien?
  • Keempat, tidak sesuai dengan semangat ideologi atau afiliasi politik yang mereka usung. Yang terakhir ini adalah lembaga atau media independen, tapi secara politik memihak. Ketika hasil surveinya menunjukkan kandidat dukungan mereka kalah, mereka tak akan mempublikasikan hasilnya.
Sebaliknya lembaga yang tetap nekat merilis hasil temuannya biasanya akan sedikit “mengakali” dengan beberapa cara.
  • Pertama, memaparkan angka selisih suaranya sangat tipis, masih dalam rentang margin of error.
  • Kedua, dengan merilis selisih suara yang tipis, tapi dengan margin of error yang besar.
  • Ketiga, selisih suara yang agak “besar”, dengan margin of error yang juga besar. Keempat, yang ini agak nekat, mereka membalik hasil survei.
Dengan cara seperti itu, maka lembaga survei yang mendukung/disewa oleh kandidat bisa menampilkan data yang menguntungkan kandidatnya. Untuk poin pertama dan ketiga, biasanya dibuat selisih suara yang tipis. Hasilnya tidak terlalu menekan sang kandidat dan bisa dimanfaatkan sebagai black campaign lawannya.
Untuk poin keempat, yang ini memang sungguh kelewatan. Hasil survei kalah, namun ketika dirilis menjadi menang. Apa ada lembaga survei yang nekat seperti itu? Untuk jajak pendapat, banyak yang melakukan. Sementara untuk quick count, sangat jarang, tapi ada juga yang tetap nekat melakukan.
Banyak pintu dan celah untuk keluar dengan selamat ketika lembaga survei “memainkan” hasil jajak pendapatnya. Sementara untuk quick count, tidak ada ruang bermain, karena hasilnya bisa segera dibandingkan dengan real count.
Dalam Pilpres 2009 ketika SBY-Budiono versus JK-Wiranto, ada lembaga survei yang terpaksa membubarkan diri karena kalah bertaruh tentang siapa yang akan memenangi Pilpres.
Sementara dalam Pilpres 2014 ketika Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta ada lembaga survei yang juga harus membubarkan diri, karena hasil quick count-nya berbeda sendiri dibandingkan lembaga survei lain dan ketika dibandingkan dengan real count dari KPU: perolehan suaranya terbalik.
Lantas apa yang dimaksud dengan margin of error atau yang sering juga disebut sebagai margin of sampling error (MOSE) itu?
Margin of error adalah istilah dalam statistik yang menyatakan jumlah kesalahan dalam pengambilan contoh sampel dalam sebuah survei. Secara gampangnya margin of error mengukur seberapa dekat hasil dari sampel dengan hasil pada kenyataannya.
Jadi hasil surveinya bisa memberi gambaran kemana rakyat akan menjatuhkan pilihan.
Kendati begitu, bukan berarti bila margin of error maka hasilnya lebih akurat. Demikian pula sebaliknya, bila margin of error-nya besar, maka surveinya tidak akurat.
Ada soal lain yang harus diperhatikan dari hasil sebuah survei, yakni berkaitan dengan response rate, atau seberapa besar responden bersedia menjawab survei yang dilakukan. Karena ini akan sangat berpengaruh pada tingkat keterwakilan populasi.
Secara gampang kira-kira begini. Bila sampel yang dipilih di daerah basis pemilih Ahok-Djarot yang bersedia menjawab survei lebih tinggi, sementara di basis Anies-Sandi response rate-nya lebih rendah, maka Ahok-Djarot akan menang. Begitu pula sebaliknya.
Jadi seberapa besar responden bersedia menjawab survei akan sangat menentukan, apakah survei tersebut bias atau cukup valid.
Nah, silakan dicermati hasil-hasil survei yang telah dipublikasikan (mudah, kok, Anda tinggal googling), mana yang kira-kira lebih valid dan bisa dipercaya.
Sebab ada lembaga survei yang response rate-nya rendah, dari total 800 responden yang bersedia menjawab hanya 440 orang atau hanya 55 persen. Namun ada pula yang response rate-nya cukup tinggi, sampai di atas 90 persen.
Fenomena lembaga survei salah memprediksi hasil pemilihan pernah terjadi di Pilpres AS, saat Hillary Clinton bertarung melawan Trump. Semuanya juga berkaitan dengan response rate dari sampel.
Semua lembaga survei dengan sangat yakin Trump akan kalah. Hasilnya Trump menang. Peristiwa ini menjadi semacam kiamat bagi industri jajak pendapat di Amerika.
Dari 20 lembaga survei terbesar termasuk milik televisi nasional, surat kabar terkemuka dan media online yang telah melakukan jajak pendapat, hanya satu lembaga yakni Los Angeles Times bekerjasama dengan USC Tracking yang konsisten menyebutkan keunggulan Trump.
Kekacauan tersebut terjadi karena banyak pemilih Trump, terutama kaum kulit putih di pedesaan yang menyembunyikan pilihannya. Mereka tidak mau mengungkapkan akan memilih Trump karena takut di-bully. Kira-kira apakah fenomena semacam itu juga terjadi di Jakarta?
Pertarungan antara Hillary versus Trump memang salah satu pertarungan terkeras dan menyebabkan polarisasi yang sangat kuat di masyarakat AS. Suasananya lebih kurang juga seperti Pilkada DKI saat ini.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Monmouth University, New Jersey, sekitar tujuh persen pemilih mengakhiri hubungan pertemanan, karena pemilihan presiden itu. Sembilan persen pendukung Hillary Clinton mengaku kehilangan teman, dan enam persen pendukung Trump mengalami hal yang sama.
Bagaimana dengan Jakarta? Naga-naganya kok tidak jauh-jauh seperti itu. Atau malah jangan-jangan lebih parah?


Kelebihan dan kekurangan Pilkada 2017

Kelebihan :
1. Kepala Daerah Terpilih diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari rakyat mayoritas.

2. Kepala Daerah Terpilih mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.

3. Sebagai Catatan pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jate
ng

4. Akan tetapi harus dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi. Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.

Kekurangan :
1. Biaya yang dikeluarkan pemerintah cukup besar. Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33 Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota. Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan untuk semua kebutuhan KPU seperti gaji, peralatan, inventaris, logistik dan lainnya.

2. Sering terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah. Bahkan sering terjadi anarkistis dan pengrusakan fasilitas publik.

3. Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan mungkin ada juga dendam.

4. Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.

5. Sering terjadi jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon kepala daerah disertai terjadinya money politic.

6. Calon yang akhirnya menang setelah menjadi pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga dinasti politik.

Pesan dan Saran untuk pilkada Dki dan daerah lainnya

            Untuk pilkada di Dki jakarta sudah mengalami banyak kemajuan, sudah lebih baik daik tahun-tahun sebelumnya, walaupun masih terdapat banyak kekurangan yang masih harus di perbaiki, terlebih di saat pelaksaan kampanye, dimana masih saja banyak masyarakat yang mudah di hasut atau di adu domba, itu pertanda bahwa negara indonesia masih memiliki pemikiran yang sama seperti saat kita di jajah belanda. Sehingga hal ini dapat memberarkan salah satu kandidat, walaupun kualitas sudah lebih baik dari orang-orang di pemerintahan lainnya, namun apabila masyarakat jaktarta belum bisa berfikir jernih, maka kebaikan yang ada akan tertutup.
            Untuk kedepannya, masyarakat jakrta harus lebih pintar dalam memilih calon pemimpin, jangan mudah terprovokasi dengan hal-hal spele. Agar tidak menyesal selama 5 tahun mendatang.
            Dan untuk pihak KPU kedepannya, pelaksanaan pilkada serentak harus di lakukan perataan kulatisan di setiap daerah, jangan jadikan pilkada sebagai kegiatan rutinitas 5 tahunan di indonesia sehingga menabaikan kulias pilkada di daerah lain.