PILKADA
PEMILIHAN
UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH (PEMILUKADA)
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah,
atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah)
belum dimasukkan dalam rezim pemilihan
umum (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada
bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu,
sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah" atau "Pemilukada".
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta
Pemilukada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pemilukada juga dapat berasal dari
pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang
ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
Khusus di Kota Tangerang, Pemilukada Kota Tangerang
atau Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Tangerang secara langsung
pertamakali diselenggarakan oleh KPU Kota Tangerang pada hari Minggu tanggal
26 Oktober 2008 (hari Pemungutan Suara) dengan jumlah 3 (tiga) peserta
pasangan calon, yaitu: 1). Wahidin Halim & Arief Wismansyah (Koalisi
Parpol), 2). M Bonnie Mufidjar & Diedy Faried Wadjdi (PKS), dan 3). Ismet
Sadeli Hasan & KH Mahfud (Jalur Calon Perseorangan).
Setelah memenangkan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil
Walikota Tangerang --berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri--
Bapak H. Wahidin Halim dan H. Arief R Wismansyah dilantik menjadi Walikota dan
Wakil Walikota Tangerang periode 2008-2013 pada hari Minggu tanggal 16
November 2008 oleh Gubernur Provinsi Banten Ibu Hj. Ratu Atut Chosiah di
Ruang Sidang Paripurna DPRD, Gd. Pusat Pemerintahan Lt. 3 Jl. Satria Sudirman
No. 1 Kota Tangerang.[1]
Didalam UU RI
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pengertian pemilukada adalah ”Pemilu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun sejak
ditetapkannya UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu istilah Pemilukada
diuraikan langsung sehingga menjadi ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara
demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Untuk
pelaksanaan UU RI Nomor 15 Tahun 2011, khususnya tentang pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota belum diikuti dengan perubahan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait erat dengan persoalan tersebut, antara
lain; UU RI Nomor 32 tahun 2004 dan perubahannya, PP Nomor 6 tahun 2005 dan
perubahannya, dan Peraturan-peraturan KPU. Peraturan KPU tentang pemilukada
pada tahun 2012, hanya satu yang telah ditetapkan, yaitu: Peraturan KPU Nomor 9
Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
Didalam
Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pengertian pemilukada adalah
sebagai berikut:
“Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah selanjutnya disebut Pemilukada adalah pemilihan umum untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota
dan Wakil Walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Persyaratan
Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara,
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
serta Pemerintah;
c. berpendidikan paling rendah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
atau sederajat;
d. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun bagi calon
Gubernur/Wakil Gubernur dan berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun
bagi calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, pada saat pendaftaran;
e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan menyeluruh dari tim pemeriksa kesehatan;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di
daerahnya;
i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk
diumumkan;
j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara
perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang
merugikan keuangan negara;
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang
belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
m. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat
antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau
istri;
n. belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil
Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
Partai
Politik/Gabungan Partai Politik Yang berhak Mengusung Pasangan Calon &
Syarat Dukungan Calon Perseorangan pada Pemilukada
Adapun Partai Politik/Gabungan Partai
Politik Yang berhak Mengusung Pasangan Calon & Syarat Dukungan Calon
Perseorangan pada Pemilukada adalah sebagai berikut:
1) Partai Politik/Gabungan Partai
Politik
a) Pasal 59 Ayat (2) UU RI Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah: “Partai politik atau gabungan partai politik
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan
sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15%
(lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
b)
Pasal 6
Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan
Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah:
(1) Dalam hal bakal pasangan calon
diajukan oleh gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD, penghitungan
dilakukan dengan cara menjumlahkan perolehan kursi gabungan partai politik
sehingga diperoleh jumlah kursi paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari
jumlah kursi DPRD.
(2) Dalam hal hasil penjumlahan kursi
partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD tidak
mencukupi 15% (lima belas perseratus) dari jumlah kursi DPRD, maka penghitungan
dilakukan berdasarkan perolehan suara sah paling sedikit 15% (lima belas
perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD terakhir di daerah yang bersangkutan.
(3) Dalam hal bakal pasangan calon
diajukan oleh gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dengan partai
politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, penghitungan dilakukan dengan cara
menjumlahkan perolehan suara sah gabungan partai politik sehingga diperoleh
jumlah suara sah paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi
perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD yang bersangkutan.
(4) Dalam hal bakal pasangan calon
diajukan oleh gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD,
penghitungan suara sah dilakukan dengan cara menjumlahkan perolehan suara sah
gabungan partai politik sehingga diperoleh jumlah suara sah paling sedikit 15%
(lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum
Anggota DPRD yang bersangkutan.
2) Calon Perseorangan
a) Pasal 59 Ayat (2b) huruf d UU RI
Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3%
(tiga persen)”.
b) Pasal 59 Ayat (2d) UU RI Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah: “Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2b) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah
kecamatan di kabupaten/kota dimaksud”.
c) Pasal 59 Ayat (2e) UU RI Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah: “Dukungan dibuat dalam bentuk surat dukungan
yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan
tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. (AMd)
PEMILIHAN
UMUM (PEMILU)
Draf RUU Pemilu
yang menjadi pijakan pelaksanaan Pemilu 2019 telah diserahkan ke DPR. Ada
beberapa poin krusial terkait RUU Pemilu tersebut. Salah satunya adalah tentang
sistem pemilu yang menggunakan proporsional terbuka terbatas.
Sistem pemilu proporsional
terbuka terbatas ini sebagaimana tercantum di pasal 138, yang bunyinya sebagai
berikut:
Pasal
138
(2) Pemilu
untuk memilih memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas.
(3) Sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik
(3) Sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik
Sementara terkait
mekanismenya, diperjelas dalam lampiran penjelasan di RUU Pemilu soal pasal
138:
Yang
dimaksud dengan “daftar calon terbuka” adalah daftar calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dicantumkan dalam surat suara Pemilu Anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara berurutan yang ditetapkan
oleh partai politik.
Yang dimaksud dengan “daftar nomor urut calon yang terikat” adalah daftar nomor urut calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh partai politik secara berurutan yang bersifat tetap.
Yang dimaksud dengan “daftar nomor urut calon yang terikat” adalah daftar nomor urut calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh partai politik secara berurutan yang bersifat tetap.
Jika poin tersebut nantinya disetujui, maka Pemilu 2019 akan
berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2014, digunakan sistem
proporsional terbuka, yaitu pemilih bisa mencoblos nama calon anggota legislatif
selain hanya mencoblos gambar partai. Hal ini juga berbeda dengan sistem
proporsional tertutup, dimana pemilih hanya mencoblos gambar partai.
Sistem proporsional terbuka terbatas yang diajukan
pemerintah diklaim sebagai perpaduan keduanya. Pemilih bisa melihat daftar
calon anggota legislatif di partai tersebut, tetapi urutan para calon itu tetap
merupakan kewenangan partai.
Berdasarkan jadwal, RUU Pemilu ini akan dibawa ke rapat
paripurna DPR, pada Rabu (26/10) mendatang. Selanjutnya, akan dibahas bersama
oleh DPR dan Pemerintah di masa sidang berikutnya.
Sebelumnya, melalui pesan yang berantai di media sosial,
Minggu (23/10) Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui
Direktur Eksekutifnya, Titi Anggraeni, telah memetakan poin-poin krusial dalam
RUU Pemilu sebagai berikut:
- Sistem pemilunya proporsional tertutup/PR closed list. Kalau bahasa RUU, sistem pemilu ‘terbuka terbatas’.
- Batas ambang parlemen tidak berubah yakni 3,5% hanya untuk DPR RI dan tidak berlaku untuk DPRD.
- Alokasi kursi 3-10. Total kursi DPR 560 kursi. Alokasi kursi DPRD 3-12.
- Metode konversi suara menggunakan Sainte Lague Modifikasi. Perolehan suara parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7; dst.
- Alokasi
kursi 560 dibagi ke 78 dapil (dapil baru Kaltara dengan 3 kursi, Kaltim tinggal
5).
PT (parliamentary threshold) atau ambang batas perwakilan 3,5% hanya untuk DPR RI. Tidak berlaku untuk DPRD. - Untuk mengusung calon presiden partai atau gabungan partai harus memilii kursi 20% atau suara 25% dari hasil pemilu sebelumnya. Bagi parpol baru bisa bergabung dengan parpol yang memenuhi syarat di atas.
- Mencoblos nomor urut partai atau gambar partai, tidak mencoblos caleg meski daftar caleg ada di surat suara.
- Penentuan calon terpilih berdasar nomor urut.
- Anggota Bawaslu Provinsi 5 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota jadi permanen dengan anggota 5 orang.
- Usia anggota KPU/Bawaslu RI minimal 45 tahun, maksimal 65 tahun. Masa jabatan maksimal 2 periode. (shn)
Pendapat tentang pelaksanaan pilkada DKI 2017
Sejumlah lembaga telah melansir hasil
jajak pendapat Pilkada DKI putaran kedua.
Hasilnya
semua menunjukkan bahwa Anies-Sandi akan memenangkan pemilihan, termasuk survei
yang dilakukan oleh lembaga yang menjadi konsultan Ahok-Djarot. Bedanya pada
selisih perolehan suara, dengan yang terendah 1 persen, dan tertinggi 8,7
persen.
Konsultan
Ahok-Djarot menampilkan data selisih perolehan suaranya sangat tipis dan masih
dalam rentang margin error. Artinya masih terbuka peluang Ahok-Djarot menang.
Sementara
lembaga yang independen, menyebutkan selisih perolehan suaranya sangat
signifikan. Perlu usaha yang sangat keras agar Ahok-Djarot bisa membalikkan
keadaan.
Sangat
bisa dipahami mengapa konsultan atau lembaga yang mendukung Ahok-Djarot tidak
merilis hasil survei yang merugikan mereka. Jika kita cermati ada dua langkah
yang mereka lakukan.
Pertama, sama sekali tidak mempublikasikan hasil surveinya, karena
selisih suaranya yang terlampau besar.
Kedua, ada yang tetap mempublikasikan hasilnya, namun dengan
beberapa “perlakuan”.
Setidaknya
ada empat alasan mengapa ada lembaga survei yang memutuskan sama sekali tidak
mempublikasikannya.
- Pertama, hasil survei tersebut jelas akan merugikan kandidat yang didukungnya, karena akan mempengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihannya. Mereka ini sering disebut sebagai undecided voter yang secara psikologis cenderung mengikuti suara terbanyak.
- Kedua, memberi tekanan kepada pemilih yang telah memutuskan memilih kandidat tersebut, namun tingkat militansinya rendah. Mereka ini pemilih labil. Begitu tahu calon yang didukungnya kalah dalam survei, mereka bisa mengalihkan pilihannya.
- Ketiga, tidak sesuai dengan pesanan pemberi order. Tidak perlu ada judgment alias penilaian negatif terhadap mereka. Karena sebagai lembaga profesional mereka memang menerima bayaran. Jadi, ya, wajar-wajar saja. Untuk apa membuat publikasi yang merugikan klien?
- Keempat, tidak sesuai dengan semangat ideologi atau afiliasi politik yang mereka usung. Yang terakhir ini adalah lembaga atau media independen, tapi secara politik memihak. Ketika hasil surveinya menunjukkan kandidat dukungan mereka kalah, mereka tak akan mempublikasikan hasilnya.
Sebaliknya
lembaga yang tetap nekat merilis hasil temuannya biasanya akan sedikit
“mengakali” dengan beberapa cara.
- Pertama, memaparkan angka selisih suaranya sangat tipis, masih dalam rentang margin of error.
- Kedua, dengan merilis selisih suara yang tipis, tapi dengan margin of error yang besar.
- Ketiga, selisih suara yang agak “besar”, dengan margin of error yang juga besar. Keempat, yang ini agak nekat, mereka membalik hasil survei.
Dengan
cara seperti itu, maka lembaga survei yang mendukung/disewa oleh kandidat bisa
menampilkan data yang menguntungkan kandidatnya. Untuk poin pertama dan ketiga,
biasanya dibuat selisih suara yang tipis. Hasilnya tidak terlalu menekan sang
kandidat dan bisa dimanfaatkan sebagai black campaign lawannya.
Untuk
poin keempat, yang ini memang sungguh kelewatan. Hasil survei kalah, namun
ketika dirilis menjadi menang. Apa ada lembaga survei yang nekat seperti itu?
Untuk jajak pendapat, banyak yang melakukan. Sementara untuk quick count,
sangat jarang, tapi ada juga yang tetap nekat melakukan.
Banyak
pintu dan celah untuk keluar dengan selamat ketika lembaga survei “memainkan”
hasil jajak pendapatnya. Sementara untuk quick count, tidak ada ruang
bermain, karena hasilnya bisa segera dibandingkan dengan real count.
Dalam
Pilpres 2009 ketika SBY-Budiono versus JK-Wiranto, ada lembaga survei yang
terpaksa membubarkan diri karena kalah bertaruh tentang siapa yang akan
memenangi Pilpres.
Sementara
dalam Pilpres 2014 ketika Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta ada lembaga survei
yang juga harus membubarkan diri, karena hasil quick count-nya berbeda
sendiri dibandingkan lembaga survei lain dan ketika dibandingkan dengan real
count dari KPU: perolehan suaranya terbalik.
Lantas
apa yang dimaksud dengan margin of error atau yang sering juga disebut sebagai
margin of sampling error (MOSE) itu?
Margin of error adalah istilah dalam statistik yang
menyatakan jumlah kesalahan dalam pengambilan contoh sampel dalam sebuah
survei. Secara gampangnya margin of error mengukur seberapa dekat hasil
dari sampel dengan hasil pada kenyataannya.
Jadi
hasil surveinya bisa memberi gambaran kemana rakyat akan menjatuhkan pilihan.
Kendati
begitu, bukan berarti bila margin of error maka hasilnya lebih akurat.
Demikian pula sebaliknya, bila margin of error-nya besar, maka surveinya
tidak akurat.
Ada
soal lain yang harus diperhatikan dari hasil sebuah survei, yakni berkaitan
dengan response rate, atau seberapa besar responden bersedia menjawab
survei yang dilakukan. Karena ini akan sangat berpengaruh pada tingkat
keterwakilan populasi.
Secara
gampang kira-kira begini. Bila sampel yang dipilih di daerah basis pemilih
Ahok-Djarot yang bersedia menjawab survei lebih tinggi, sementara di basis
Anies-Sandi response rate-nya lebih rendah, maka Ahok-Djarot akan menang.
Begitu pula sebaliknya.
Jadi
seberapa besar responden bersedia menjawab survei akan sangat menentukan,
apakah survei tersebut bias atau cukup valid.
Nah,
silakan dicermati hasil-hasil survei yang telah dipublikasikan (mudah, kok,
Anda tinggal googling), mana yang kira-kira lebih valid dan bisa
dipercaya.
Sebab
ada lembaga survei yang response rate-nya rendah, dari total 800
responden yang bersedia menjawab hanya 440 orang atau hanya 55 persen. Namun
ada pula yang response rate-nya cukup tinggi, sampai di atas 90 persen.
Fenomena
lembaga survei salah memprediksi hasil pemilihan pernah terjadi di Pilpres AS,
saat Hillary Clinton bertarung melawan Trump. Semuanya juga berkaitan dengan response
rate dari sampel.
Semua
lembaga survei dengan sangat yakin Trump akan kalah. Hasilnya Trump menang.
Peristiwa ini menjadi semacam kiamat bagi industri jajak pendapat di Amerika.
Dari
20 lembaga survei terbesar termasuk milik televisi nasional, surat kabar
terkemuka dan media online yang telah melakukan jajak pendapat, hanya satu
lembaga yakni Los Angeles Times bekerjasama dengan USC Tracking yang konsisten
menyebutkan keunggulan Trump.
Kekacauan
tersebut terjadi karena banyak pemilih Trump, terutama kaum kulit putih di
pedesaan yang menyembunyikan pilihannya. Mereka tidak mau mengungkapkan akan
memilih Trump karena takut di-bully. Kira-kira apakah fenomena semacam
itu juga terjadi di Jakarta?
Pertarungan
antara Hillary versus Trump memang salah satu pertarungan terkeras dan
menyebabkan polarisasi yang sangat kuat di masyarakat AS. Suasananya lebih
kurang juga seperti Pilkada DKI saat ini.
Berdasarkan
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Monmouth University, New Jersey, sekitar
tujuh persen pemilih mengakhiri hubungan pertemanan, karena pemilihan presiden
itu. Sembilan persen pendukung Hillary Clinton mengaku kehilangan teman, dan
enam persen pendukung Trump mengalami hal yang sama.
Bagaimana dengan Jakarta? Naga-naganya kok
tidak jauh-jauh seperti itu. Atau malah jangan-jangan lebih parah?
Kelebihan dan kekurangan Pilkada 2017
Kelebihan :
1. Kepala Daerah
Terpilih diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari
rakyat mayoritas.
2. Kepala Daerah Terpilih mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.
3. Sebagai Catatan pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jateng
4. Akan tetapi harus dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi. Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.
2. Kepala Daerah Terpilih mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.
3. Sebagai Catatan pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jateng
4. Akan tetapi harus dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi. Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.
Kekurangan :
1. Biaya yang
dikeluarkan pemerintah cukup besar. Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33
Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota. Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan
untuk semua kebutuhan KPU seperti gaji, peralatan, inventaris, logistik dan
lainnya.
2. Sering terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah. Bahkan sering terjadi anarkistis dan pengrusakan fasilitas publik.
3. Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan mungkin ada juga dendam.
4. Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.
5. Sering terjadi jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon kepala daerah disertai terjadinya money politic.
6. Calon yang akhirnya menang setelah menjadi pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga dinasti politik.
2. Sering terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah. Bahkan sering terjadi anarkistis dan pengrusakan fasilitas publik.
3. Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan mungkin ada juga dendam.
4. Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.
5. Sering terjadi jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon kepala daerah disertai terjadinya money politic.
6. Calon yang akhirnya menang setelah menjadi pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga dinasti politik.
Pesan dan Saran untuk pilkada Dki dan daerah lainnya
Untuk pilkada di Dki
jakarta sudah mengalami banyak kemajuan, sudah lebih baik daik tahun-tahun
sebelumnya, walaupun masih terdapat banyak kekurangan yang masih harus di
perbaiki, terlebih di saat pelaksaan kampanye, dimana masih saja banyak
masyarakat yang mudah di hasut atau di adu domba, itu pertanda bahwa negara
indonesia masih memiliki pemikiran yang sama seperti saat kita di jajah
belanda. Sehingga hal ini dapat memberarkan salah satu kandidat, walaupun
kualitas sudah lebih baik dari orang-orang di pemerintahan lainnya, namun
apabila masyarakat jaktarta belum bisa berfikir jernih, maka kebaikan yang ada
akan tertutup.
Untuk kedepannya,
masyarakat jakrta harus lebih pintar dalam memilih calon pemimpin, jangan mudah
terprovokasi dengan hal-hal spele. Agar tidak menyesal selama 5 tahun
mendatang.
Dan untuk pihak KPU
kedepannya, pelaksanaan pilkada serentak harus di lakukan perataan kulatisan di
setiap daerah, jangan jadikan pilkada sebagai kegiatan rutinitas 5 tahunan di
indonesia sehingga menabaikan kulias pilkada di daerah lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar