Kasus kasus yang
berkaitan dengan :
1. Pertahanan bidang nasional
Meskipun peristiwanya sudah berlangsung tiga tahun
yang lalu, namun kasus Ambalat nampaknya belum terselesaikan hingga sekarang.
Sudah tiga tahun dilakukan negosiasi, namun belum terdengar kabar berita
tentang hasilnya. Belajar dari kasus Sipadan – Ligitan yang juga dengan
Malaysia, Indonesia tidak boleh terlena dengan janji serta upaya hukum dari
Malaysia. Indonesia telah kalah telak pada persidangan Mahkamah Internasional
di Den Haag serta kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu
(buying time) untuk pengumpulan data maupun perolehan dukungan internasional
oleh Malaysia seperti dilakukan dalam menggarap kasus Sipadan – Ligitan sungguh
sangat jitu. Oleh karena itu seyogyanya Indonesia tidak menganggap enteng dalam
kasus Ambalat ini.
Konsesi minyak oleh Malaysia di wilayah Indonesia
Konsesi minyak oleh Malaysia di wilayah Indonesia
Pada 16
Februari 2005 Pemerintah Indonesia telah memprotes pemberian konsesi minyak di
Ambalat, Laut Sulawesi (wilayah Indonesia) kepada Shell, perusahaan minyak
Belanda oleh Pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya,
Petronas. Berita tersebut diklarifikasi oleh Departemen Luar Negeri RI (Deplu)
melalui siaran pers tanggal 25 Februari 2005, yang kemudian menimbulkan reaksi
keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Suatu kejutan spontanitas
kemudian terjadi di mana-mana. Tanpa menunggu komando, masyarakat di berbagai
kota berdemonstrasi dan menghimpun sukarelawan untuk menghadapi Malaysia.
Kemarahan tersebut dipicu oleh berbagai perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia
antara lain dalam masalah TKI dan terlepasnya pulau Sipadan – Ligitan dari
kekuasaan RI bulan Desember 2002.
RI akan
selesaikan dengan cara damai
Belajar dari
pengalaman dan menyimak kejadian yang sebenarnya, makna konflik blok Ambalat
bukankah sekedar persoalan benar-salah atau kalah-menang. Namun harus
diselesaikan dengan jernih dan proporsional. Langkah Presiden SBY yang pada 8
Maret 2005 melakukan peninjauan langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan
itu sangat tepat. Peninjauan tersebut juga melengkapi komunikasi Presiden SBY
dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan
pendapat bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai.
Sebaiknya
bagaimana pendirian Indonesia?
Menghadapi
Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun.
Bersamaan dengan itu harus pula dapat dibuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat
Timur adalah wilayah Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari
ekses perebutan pulau Sipadan – Ligitan. Agar tidak terulang nasib kekalahan
Indonesia dalam kasus Sipadan – Ligitan, maka untuk menetapkan keabsahan status
kawasan Ambalat tidak diperlukan dialog basa-basi. Secara substansial, posisi
Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat
kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah
“kecolongan” atas lepasnya pulau Sipadan – Ligitan sebagai akibat dari suatu
“kelalaian”.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam sengketa Sipada – Ligitan tersebut.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam sengketa Sipada – Ligitan tersebut.
Indonesia
negara kepulauan
Perlu
disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi
salah satu dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state) di dunia
berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (The United Nations
Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Sebagai perwujudannya, maka
dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp
No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain adalah keharusan Indonesia
membuat peta garis batas, yang memuat kordinat garis dasar sebagai titik
ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak
memuat peta garis batas Indonesia. Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh
Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan
kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini hanya
mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari “kelalaian” dan terbukti, sebagaimana
dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa
yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan
Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya
Malaysia juga berusaha melakukan hal serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara
membangun pulau tersebut sebagai daerah tujuan wisata.
Peta Malaysia
tahun 1979
Taktik/strategi
coba-coba yang membuat Malaysia berhasil dalam perebutan Sipadan – Ligitan
sekali lagi sedang dilakukan untuk meraup Blok ND 6 (Y) dan ND 7 (Z) sebagai
bagian wilayahnya. Malaysia hanya merubah sebutan tempat tersebut untuk membuat
kesan beda dengan wilayah garapan Indonesia, yaitu Blok Ambalat dan Ambalat
Timur. Manuver Malaysia tidak saja dengan memberikan konsesi minyak di blok
tersebut kepada Shell, namun juga tindakan provokasi di batas perairan wilayah
kedua negara sekaligus mengganggu pembangunan mercu suar di Karang Unarang
milik Indonesia. “Keberanian” Malaysia dalam hal ini berbekal asumsi atas “rumus”
yang dibuatnya sendiri dengan menarik garis pantai dari wilayah teritorial laut
pulau Sipadan – Ligitan. Padahal berdasarkan UNCLOS Malaysia adalah bukan
negara kepulauan dan tidak berhak menarik garis pangkal dari titik-titik
terluar pulau-pulau terluar sebagaimana dimiliki negara kepulauan seperti
Indonesia.
Ulah Malaysia
mengklaim Sipadan – Ligitan kemudian Blok Ambalat dan East Ambalat, semata-mata
berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak dan sudah diprotes oleh
Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Adanya protes tersebut
dan setelah diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, seharusnya
Malaysia sudah tidak lagi menggunakan peta tersebut. Namun setelah berhasil
merebut pulau Sipadan dan Ligitan maka Malaysia berani “mencoba” melangkah maju
lagi. Target yang dituju adalah kepemilikan Blok ND 6 dan ND 7 yang kaya dengan
kandungan minyak tersebut. Spekulasi Malaysia selanjutnya adalah mencari
celah-celah agar Indonesia mau diajak berunding dan bilamana perlu hingga ke
Mahkamah Internasional. Di Den Haag nanti, Malaysia punya “bargaining position”
atas peran Shell, perusahaan minyak Belanda. Sebagai perusahaan transnasional,
pasti dibalik Shell terdapat kekuatan lain yang cukup berbobot dan berpengaruh.
Sedangkan Indonesia hanya sendirian dan tidak mempunyai “bargaining position”
yang menjanjikan.
Tumpang
tindih “lahan” penjualan
Indonesia
sebetulnya tidak harus bersusah payah menghadapi kasus Ambalat, seandainya
sejak awal secara konsisten tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap
konsesi yang telah diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok
Ambalat dan Ambalat Timur. Di kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah
membuka peluang bisnis kepada perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC,
British Petroleum, Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini
tidak ada reaksi apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan Indonesia telah
berlangsung jauh sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat peta
tahun 1979.
Ada semacam
kejanggalan bahwa pada tahun 1967 Pertamina memberikan konsesi minyak kepada
Shell, namun oleh Shell kemudian diberikan lagi kepada perusahaan minyak ENI
(Italia). Petunjuk ini perlu untuk diketahui, mengingat ada nuansa kesamaan
dengan pemberian konsesi minyak oleh Petronas kepada Shell yang sekarang sedang
diributkan itu. Pada saat ini Blok Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan
East Ambalat oleh Unocal (AS) tahun 2004 (Desember). Timbul pertanyaan, mengapa
sampai terjadi tumpang tindih bahwa Malaysia dapat “menjual” asset negara lain
yang adalah sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek masih sedang
aktif dikelola. Sekali lagi Indonesia telah “kecolongan” akibat “kelalaian”
juga.
Memenangkan
perundingan
Dari catatan
tersebut di atas, inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat akal-akalan
Malaysia yang bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan berbuntut perolehan hak
atas Sipadan – Ligitan. Malaysia juga tidak jujur dalam memaknai secara utuh
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang juga telah ikut ditandatanganinya.
Menanggapi
protes Indonesia, Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa yang sedang
disengketakan itu adalah perairan Malaysia. Meskipun menyatakan ingin
menghindarkan konfrontasi dengan Indonesia, namun dalam berbagai kesempatan
Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar mengatakan bahwa Malaysia tidak akan
berkompromi soal kepentingan teritorial dan kedaulatan.
Posisi
Malaysia cukup jelas, yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun mengajak
berunding dan harus melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan Indonesia
berkewajiban untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tibalah
saatnya sekarang kedua negara bertetangga dan serumpun ini saling berhadapan
untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu
merujuk pengalaman masa lalunya untuk kembali memenangkan perundingan dengan
Indonesia. Mengantisipasi bilamana terjadi perundingan, diperkirakan akan
terdapat tiga kemungkinan. Yaitu pertama, Indonesia tetap dapat mempertahankan
haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut Ambalat; atau ketiga, berunding dengan
difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila gagal semuanya, bukan tidak mungkin
bisa terjadi perang. Namun yang terakhir ini tentu sulit karena keduaanya
terikat kepada kesepakatan Asean. Dalam hal mengundang pihak ketiga, dari
pengalaman Sipadan – Ligitan kemungkinan Indonesia akan dirugikan. Pertemuan
bilateral antara Menlu RI dan Menlu Malaysia pada Mei 2005 hasilnya belum
banyak diketahui oleh publik.
Indonesia
masih harus dapat memilih secara tepat beberapa alternatif apakah perundingan
bilateral saja, melalui jasa High Counsel Asean, Tribunal UNCLOS atau ke
Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pemerintah juga harus
melengkapinya dengan berbagai peraturan yang memperkuat posisi Indonesia di
arena perundingan nanti. Seperti dimaklumi, Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Kordinat
Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia juga disiapkan saat menghadapi
persidangan kasus Sipadan – Ligitan di Mahkamah Internasional, namun kurang
manfaat karena kalah berpacu dengan waktu. Sekarang PP tersebut harus segera
diubah karena di dalamnya masih ada Sipadan dan Ligitan.
Belajar dari
kasus
Mengambil
pelajaran dari proses perebutan Sipadan – Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini
Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus
Sipadan – Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat
argumentasi hukum dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan negara
pihak dalam mengurus asset. Oleh karena itu dalam adu argumentasi nanti harus
lebih diperkuat hingga dapat memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji
pula secara lebih mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus
ini.
Sebagai
negara yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia harus bersikap
tegas dan konsisten. Pada kasus Sipadan – Ligitan, awalnya Indonesia terkesan
sangat percaya diri. Namun setelah persidangan berlangsung, belakangan
diketahui bahwa tim perunding Indonesia ternyata kurang persiapan dan kurang
kordinasi. Oleh karenanya untuk ke depan Indonesia harus lebih siap lagi.
Tentunya tidak hanya yang substansial, namun juga yang non-substansial termasuk
jiwa patriotisme harus juga dikedepankan. Tim perunding Indonesia harus mampu
menandingi semangat kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan sikap
Indonesia yang jelas, Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk “mempertahankan”
teritorial dan kedaulatan. Padahal yang dimaksud “teritorial dan kedaulatan”
tersebut masih dalam status sengketa dan masuk wilayah Indonesia. Dengan kata
lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain. Sikap tegas Malaysia
tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk “menantang” Indonesia.
Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah strategi Indonesia untuk
menghadapi tantangan tersebut. Akhirnya dari semua itu, kemampuan Indonesia
dalam berdiplomasi akan diuji kembali. Pekerjaan rumah bagi Deplu untuk
mengukir sejarah kebesaran bangsa Indonesia
Sumber
: https://janetfuyuko.wordpress.com/2015/05/15/kasus-ketahanan-nasional-ambalat-sengketa-indonesia-malaysia/
2.
Ketahanan
bidang politik
Setiap usaha dan kegiatan baik dalam negeri maupun luar negeri yang
dikategorikan sebagai hal yang membahayakan dan memecah belah persatuan dengan
mengatas namakan politik. Ancaman di bidang politik dapat bersumber dari luar
negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman di bidang politik
dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan tekanan politik terhadap
Indonesia. Intimidasi, provokasi, atau blokade politik merupakan bentuk ancaman
non-militer berdimensi politik yang sering kali digunakan oleh pihak-pihak lain
untuk menekan negara lain.
Ancaman yang berdimensi politik yang bersumber dari dalam negeri dapat
berupa penggunaan kekuatan berupa pengerahan massa untuk menumbangkan suatu
pemerintahan yang berkuasa, atau menggalang kekuatan politik untuk melemahkan
kekuasaan pemerintah.
a.
Contoh kasus
Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Politik
i.
Politik uang
(money politics)
Kasus korupsi yang marak terjadi pada Pemil 2014 kemaren, banyak partai
politik yang melakukan politik uang ini dengan cara konvensional yaitu dengan
memberikan sejumlah uang maupun barang.
ii.
Politik SARA
Politik sara adalah politik yang mengeksplorasikan perbedaan agama dan
etnis bahkan ideologi. Contoh kasusnya adalah puluhan orang yang mengaku warga
Lenteng Agung, Jakarta Selatan berdemo menolak Lurah Susan dengan alasan agama Lurah Susan yang
dilantik sebagai Lurah Lenteng Agung
baru-baru ini merupakan produk kebijakan lelang lurah dari Gubernur DKI
Jakarta, Jokowi penolakan atas Lurah
Susan atas alasan agama sangatlah tidak tepat.
iii.
Politik
Oligarki
Oligarki adalah bentuk pemerintahan berikut sistem politik yang kekuasaan
politiknya secara efektif dipegang oleh satu kelompok ataupun golongan
masyarakat. Baik dibedakan menurut keluarga ataupun kekayaan. Ini merupakan
pelanggaran dalam hal demokrasi. Demokrasi ini memiliki dua dimensi.
Sebagai kasus contohnya, berkaitan dengan kasus suap yang ditijikan kepada
Ratu Atut dan adiknya Tubagus (Wawan), yang ternyata memiliki Dinasti
Politiknya sendiri, diantaranya Kakak Tri Atut sebagai Walikota Tanggerang
Selatan, Kakak Tri Atut menjadi Walikota Serang, dan anak tirinya Hervani yang
menjadi wakil bupati Pandeglang. Hal ini menimbulkan kontroversi karena sistem
politik di Banten ridak lagi murni atas nama domokrasi.
iv.
Penyerangan
batas wilayah negara
Kasus Ambalat. Ambalat adalah blok laut yang terletak di Laut Sulawesi dan
Selat Makasar di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah Malaysia dan
Kalimantan Timur. Persoalan klaim dimulai saat adanya perjanjian Tapal Batas
Kontonental Indonesia yang ditanda tangani oleh Indonesia dan Malaysia. Namun
Indonesia akhirnya melihat hal tersebut sebagai ekspansi terhadap wilayah
Indonesia dan mengurangi kedaulatan NKRI.
Sumber : http://khoirunnisasalsabila.blogspot.co.id/2016/05/ancaman-integritas-dalam-berbagai-bidang.html
3.
Ketahanan
bidang ekonomi
Pengertian
ekonomi
Ekonomi
merupakan salah satu penentu posisi tawar setiap negara dalam pergaulan
Internasional.ancaman ekonomi dibagi menjadi 2 yaitu :
i.
Ancaman
Internal, dapat berupa inflasi, pengangguran, infranstruktur yang tidak
memadai, dan sistem ekonomi yang tidak jelas.
ii.
Ancaman
Eksternal, dapat berbentuk kinerja ekonomi yang buruk, daya saing rendah,
ketidak siapan menghadapi globalisasi, dan tingkat ketergantungan pada pihak
asing.
b.
Contoh kasus
Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Ekonomi
i.
Inflansi harga baju mendekati hari raya Idul Fitri
Mendekati hari raya Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong ke pasar atau
mall untuk membeli baju lebaran. Ketika sebelum lebaran harga baju tersebut Rp
50.000,00. Karena pedangang mengambil kesempatan itu untuk memperoleh laba yang
lebih tinggi, maka pedagang menaikkan menjadi Rp 75.000,00 dan menambah pasokan
barang yang dijual. Mau tidak mau sang pembeli menyetujuinya meskipun harganya
lebih tinggi Rp 25.000,00. Kejadian seperti ini dikatakan sebagai Demand Pull
Inflation.
ii.
Ketergantungan pada pihak asing
Indonesia
merupakan salah satu dari negara yang menyimpan banyak kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
adalah minyak bumi. Wilayah di Indonesia yang menghasilkan minyak bummi begitu
banyak, antara lain: Irian Jaya, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Riau
merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di Indonesia bahkan Laut Jawa
yang merupakan daerah perairan juga ikut menghasilkan sumber daya tersebut.
Akan tetapi banyaknya daerah penghasil minyak bumi di Indonesia belum menjamin
ketercukupan dan murahnya harga minyak di Indonesia sendiri.
Sebagai
salah satu negara penghasil minyak bumi seharusnya Indonesia dapat mencukupi
kebutuhan minyak dalam negerinya sendiri. Akan tetapi Indonesia harus
mengimport minyak dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Padahal
di negeri tercinta ini banyak kantong-kantong minyak bumi yang masih belum
dijamah oleh pemerintah
Sumber
: http://khoirunnisasalsabila.blogspot.co.id/2016/05/ancaman-integritas-dalam-berbagai-bidang.html
4.
Ketahanan
bidang sosial budaya
Pengertian Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang
Sosial Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan
dari generasi ke generasi.[1] Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
a.
Contoh kasus Ancaman Integrasi
Nasional Dalam Bidang Budaya
i.
LBGT
Perilaku
dari para pelaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) semakin mengkhawatirkan.
Belakangan, para pelaku LGBT seakan tidak takut lagi menunjukkan perilaku
menyimpang mereka dan menentang pelarangan LGBT.Keberanian para pelaku dalam
menyuarakan dukungan atau dorongan untuk melegalkan perilaku LGBT, harus diakui
banyak diinspirasi negara-negara barat. Apa yang terjadi di Amerika Serikat
menjadi yang paling menginspirasi, lantaran pemerintah AS telah mensahkan
perilaku LGBT menjadi kegiatan yang legal.
Banyak yang berpendapat kalau legalisasi yang dilakukan negara-negar barat,
khususnya Amerika Serikat, tidak berangkat atau didasarkan dari norma etika dan
agama. Ia menilai, legalisasi perilaku LGBT di negara-negara tersebut semata
didasarkan pada pendekatan sekularis ateistik, yang tentu bertentangan dengan
norma-norma yang agama.
2. Negeri
Jiran Malaysia mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai miliknya
Malaysia mengklaim dan mempatenkan batik motif “Parang
Rusak”, angklung, wayang kulit hingga rendang.
Sehingga Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar menyatakan
bahwa pemerintah telah mendaftarkan batik dan angklung ke UNESCO, sebagai masterpiece world heritage. Langkah ini merupakan reaksi setelah
munculnya klaim tersebut.
3.
Pada acara
“Kemilau Nusantara 2007” di Bandung, Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia,
Datuk Abdul Azis Harun, mengancam mengklaim Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
Melayu. “Bahasa Melayu adalah Bahasa Malaysia,” katanya. Ancaman tersebut akan
dilaksanakan bila masyarakat dan Pemerintah Indonesia masih mempermasalahkan klaim Malaysia
terhadap lagu “Rasa Sayange” yang dibuat
di Malaysia pada tahun 1907 dan tari Barongan.
i.
Lagu yang
sangat mirip “Rasa Sayang” menjadi soundtrack
iklan pariwisata Malaysia yang dicurigai diambil dari lagu “Rasa Sayange”. Lagu
ini pernah di-upload di situs resmi
pariwisata Malaysia, dan disiarkan oleh televisi-televisi di Malaysia. Klaim
ini menuai kecaman hebat dari masyarakat Indonesia hingga DPR. Tapi Malaysia
sempat berdalih lagu tersebut sudah terdengar di Kepulauan Nusantara sebelum
lahirnya Indonesia. Sehingga tak bisa diklaim sendiri oleh Indonesia. Demikian
juga lagu “Indang Bariang” yang merupakan lagu asal daerah Sumatera tersebut.
ii.
Para seniman
Ponorogo kaget oleh munculnya Tari Barongan yang sangat mirip Reog Ponorogo.
Padahal Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan Reog Ponorogo dan
mendapatkan Hak Cipta No.026377 pada 11 Februari 2004. Oleh Malaysia, tarian ini diberi nama Tari
Barongan. Website Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia pernah
memampangnya dan menyatakan tarian itu
warisan dari Batu Pahat, Johor dan Selanggor Malaysia.
Sumber
: http://khoirunnisasalsabila.blogspot.co.id/2016/05/ancaman-integritas-dalam-berbagai-bidang.html
5.
Ketahanan
bidang pertahanan dan keamanan
a.
Pengertian
Pertahanan dan Keamanan Negara
Pertahanan negara disebut juga pertahanan nasional
adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
sebuah negara dan
keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa
dan negara.
b.
Contoh
kasus Ancaman Integrasi Nasional Dalam
Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara
i.
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967
ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing
negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan
dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata
pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang
dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak
Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini
selesai.
ii.
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM)
adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan
provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya
dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan
bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM
telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan
dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik
Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain
dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai
Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada
periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.
iii.
Tersebarnya
dokumen-dokumen rahasia milik pribadi atau pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
membuat ketidaknyamanan pada masyarakat.
iv.
Penyadapan
bukti ketahanan Indonesia kurang karena
kurangnya penguasaan teknologi yang semakin maju. Penyadapan adalah masalah
yang mengancam keamanan baik dari individu maupun orang banyak. Penyadapan ini
pula berkaitan dengan sila ke-dua dan ke-lima.
Sumber
: http://khoirunnisasalsabila.blogspot.co.id/2016/05/ancaman-integritas-dalam-berbagai-bidang.html
6.
Solusi
untuk sistem ketahanan nasional
Oleh karena itu, Ketahanan dan kekuatan nasional sangat menentukan peranan
negara dalam perkembangan dunia internasional. Namun demikian tidak berarti
bahwa suatu negara harus memiliki secara mutlak keseluruhan dari unsur-unsur
ketahanan dan kekuatan nasional tersebut. Selain dari unsur-unsur Ketahanan dan
kekuatan nasional yang dimiliki oleh
suatu negara, maka faktor lain yang sangat mempengaruhi Ketahanan dan kekuatan
nasional yang berkaitan dengan unsur-unsur Ketahanan dan kekuatan nasional
tersebut adalah bagaimana suatu negara mampu mengelola dan memanfaatkan dari
unsur-unsur Ketahanan dan kekuatan nasional tersebut. Sehingga suatu negara
dapat turut berperan dalam percaturan dunia internasional.
Budaya Nasional merupakan aset Bangsa Indonesia yang harus memperoleh
perhatian terutama di era Globalisasi saat ini. Budaya nasional menjadi bagian
penting negara Indonesia yang dapat dikembangankan dan dikelola sebaik-baiknya.
Itu penting agar dapat berfungsi lebih luas tidak hanya sekadar warisan ataupun
adat istiadat masyarakat Indonesia yang dirayakan ataupun dilaksanakan pada
saat peringatan hari Sumpah Pemuda atau hari Pahlawan saja. Budaya nasional
harus menjadi bagian dari aset Bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan
pendapatan bagi masyarakat dan negara. Tentunya perlu ada suatu kesadaran
secara nasional dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada semua
aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
7.
Saran
dan Pesan
Ancaman merupakan setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri yang dinilai dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, dan
keselamatan suatu negara. Kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan terhadap
berbagai ancaman tersebut agar keutuhan NKRI tetap terjaga. Kewaspadaan
terhadap ancaman diberbagai bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan.
Kita harus
menjaga keutuhan NKRI sebagai wujud persatuan dan kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar