Sabtu, 10 Juni 2017

Macam macam kasus

Kasus kasus yang berkaitan dengan :
1.       Pertahanan bidang nasional
Meskipun peristiwanya sudah berlangsung tiga tahun yang lalu, namun kasus Ambalat nampaknya belum terselesaikan hingga sekarang. Sudah tiga tahun dilakukan negosiasi, namun belum terdengar kabar berita tentang hasilnya. Belajar dari kasus Sipadan – Ligitan yang juga dengan Malaysia, Indonesia tidak boleh terlena dengan janji serta upaya hukum dari Malaysia. Indonesia telah kalah telak pada persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag serta kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu (buying time) untuk pengumpulan data maupun perolehan dukungan internasional oleh Malaysia seperti dilakukan dalam menggarap kasus Sipadan – Ligitan sungguh sangat jitu. Oleh karena itu seyogyanya Indonesia tidak menganggap enteng dalam kasus Ambalat ini.
Konsesi minyak oleh Malaysia di wilayah Indonesia
Pada 16 Februari 2005 Pemerintah Indonesia telah memprotes pemberian konsesi minyak di Ambalat, Laut Sulawesi (wilayah Indonesia) kepada Shell, perusahaan minyak Belanda oleh Pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas. Berita tersebut diklarifikasi oleh Departemen Luar Negeri RI (Deplu) melalui siaran pers tanggal 25 Februari 2005, yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Suatu kejutan spontanitas kemudian terjadi di mana-mana. Tanpa menunggu komando, masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi dan menghimpun sukarelawan untuk menghadapi Malaysia. Kemarahan tersebut dipicu oleh berbagai perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia antara lain dalam masalah TKI dan terlepasnya pulau Sipadan – Ligitan dari kekuasaan RI bulan Desember 2002.
RI akan selesaikan dengan cara damai
Belajar dari pengalaman dan menyimak kejadian yang sebenarnya, makna konflik blok Ambalat bukankah sekedar persoalan benar-salah atau kalah-menang. Namun harus diselesaikan dengan jernih dan proporsional. Langkah Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005 melakukan peninjauan langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat tepat. Peninjauan tersebut juga melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan pendapat bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai.
Sebaiknya bagaimana pendirian Indonesia?
Menghadapi Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun. Bersamaan dengan itu harus pula dapat dibuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah wilayah Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau Sipadan – Ligitan. Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan – Ligitan, maka untuk menetapkan keabsahan status kawasan Ambalat tidak diperlukan dialog basa-basi. Secara substansial, posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah “kecolongan” atas lepasnya pulau Sipadan – Ligitan sebagai akibat dari suatu “kelalaian”.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam sengketa Sipada – Ligitan tersebut.
Indonesia negara kepulauan
Perlu disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi salah satu dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state) di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Sebagai perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain adalah keharusan Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat kordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia. Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini hanya mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari “kelalaian” dan terbukti, sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha melakukan hal serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau tersebut sebagai daerah tujuan wisata.
Peta Malaysia tahun 1979
Taktik/strategi coba-coba yang membuat Malaysia berhasil dalam perebutan Sipadan – Ligitan sekali lagi sedang dilakukan untuk meraup Blok ND 6 (Y) dan ND 7 (Z) sebagai bagian wilayahnya. Malaysia hanya merubah sebutan tempat tersebut untuk membuat kesan beda dengan wilayah garapan Indonesia, yaitu Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Manuver Malaysia tidak saja dengan memberikan konsesi minyak di blok tersebut kepada Shell, namun juga tindakan provokasi di batas perairan wilayah kedua negara sekaligus mengganggu pembangunan mercu suar di Karang Unarang milik Indonesia. “Keberanian” Malaysia dalam hal ini berbekal asumsi atas “rumus” yang dibuatnya sendiri dengan menarik garis pantai dari wilayah teritorial laut pulau Sipadan – Ligitan. Padahal berdasarkan UNCLOS Malaysia adalah bukan negara kepulauan dan tidak berhak menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar sebagaimana dimiliki negara kepulauan seperti Indonesia.
Ulah Malaysia mengklaim Sipadan – Ligitan kemudian Blok Ambalat dan East Ambalat, semata-mata berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak dan sudah diprotes oleh Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Adanya protes tersebut dan setelah diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, seharusnya Malaysia sudah tidak lagi menggunakan peta tersebut. Namun setelah berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan maka Malaysia berani “mencoba” melangkah maju lagi. Target yang dituju adalah kepemilikan Blok ND 6 dan ND 7 yang kaya dengan kandungan minyak tersebut. Spekulasi Malaysia selanjutnya adalah mencari celah-celah agar Indonesia mau diajak berunding dan bilamana perlu hingga ke Mahkamah Internasional. Di Den Haag nanti, Malaysia punya “bargaining position” atas peran Shell, perusahaan minyak Belanda. Sebagai perusahaan transnasional, pasti dibalik Shell terdapat kekuatan lain yang cukup berbobot dan berpengaruh. Sedangkan Indonesia hanya sendirian dan tidak mempunyai “bargaining position” yang menjanjikan.
Tumpang tindih “lahan” penjualan
Indonesia sebetulnya tidak harus bersusah payah menghadapi kasus Ambalat, seandainya sejak awal secara konsisten tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap konsesi yang telah diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Di kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah membuka peluang bisnis kepada perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC, British Petroleum, Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini tidak ada reaksi apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan Indonesia telah berlangsung jauh sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat peta tahun 1979.
Ada semacam kejanggalan bahwa pada tahun 1967 Pertamina memberikan konsesi minyak kepada Shell, namun oleh Shell kemudian diberikan lagi kepada perusahaan minyak ENI (Italia). Petunjuk ini perlu untuk diketahui, mengingat ada nuansa kesamaan dengan pemberian konsesi minyak oleh Petronas kepada Shell yang sekarang sedang diributkan itu. Pada saat ini Blok Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan East Ambalat oleh Unocal (AS) tahun 2004 (Desember). Timbul pertanyaan, mengapa sampai terjadi tumpang tindih bahwa Malaysia dapat “menjual” asset negara lain yang adalah sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek masih sedang aktif dikelola. Sekali lagi Indonesia telah “kecolongan” akibat “kelalaian” juga.
Memenangkan perundingan
Dari catatan tersebut di atas, inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat akal-akalan Malaysia yang bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan berbuntut perolehan hak atas Sipadan – Ligitan. Malaysia juga tidak jujur dalam memaknai secara utuh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang juga telah ikut ditandatanganinya.
Menanggapi protes Indonesia, Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa yang sedang disengketakan itu adalah perairan Malaysia. Meskipun menyatakan ingin menghindarkan konfrontasi dengan Indonesia, namun dalam berbagai kesempatan Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar mengatakan bahwa Malaysia tidak akan berkompromi soal kepentingan teritorial dan kedaulatan.
Posisi Malaysia cukup jelas, yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun mengajak berunding dan harus melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan Indonesia berkewajiban untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tibalah saatnya sekarang kedua negara bertetangga dan serumpun ini saling berhadapan untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu merujuk pengalaman masa lalunya untuk kembali memenangkan perundingan dengan Indonesia. Mengantisipasi bilamana terjadi perundingan, diperkirakan akan terdapat tiga kemungkinan. Yaitu pertama, Indonesia tetap dapat mempertahankan haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut Ambalat; atau ketiga, berunding dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila gagal semuanya, bukan tidak mungkin bisa terjadi perang. Namun yang terakhir ini tentu sulit karena keduaanya terikat kepada kesepakatan Asean. Dalam hal mengundang pihak ketiga, dari pengalaman Sipadan – Ligitan kemungkinan Indonesia akan dirugikan. Pertemuan bilateral antara Menlu RI dan Menlu Malaysia pada Mei 2005 hasilnya belum banyak diketahui oleh publik.
Indonesia masih harus dapat memilih secara tepat beberapa alternatif apakah perundingan bilateral saja, melalui jasa High Counsel Asean, Tribunal UNCLOS atau ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pemerintah juga harus melengkapinya dengan berbagai peraturan yang memperkuat posisi Indonesia di arena perundingan nanti. Seperti dimaklumi, Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Kordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia juga disiapkan saat menghadapi persidangan kasus Sipadan – Ligitan di Mahkamah Internasional, namun kurang manfaat karena kalah berpacu dengan waktu. Sekarang PP tersebut harus segera diubah karena di dalamnya masih ada Sipadan dan Ligitan.
Belajar dari kasus
Mengambil pelajaran dari proses perebutan Sipadan – Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus Sipadan – Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat argumentasi hukum dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan negara pihak dalam mengurus asset. Oleh karena itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih diperkuat hingga dapat memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji pula secara lebih mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus ini.
Sebagai negara yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia harus bersikap tegas dan konsisten. Pada kasus Sipadan – Ligitan, awalnya Indonesia terkesan sangat percaya diri. Namun setelah persidangan berlangsung, belakangan diketahui bahwa tim perunding Indonesia ternyata kurang persiapan dan kurang kordinasi. Oleh karenanya untuk ke depan Indonesia harus lebih siap lagi. Tentunya tidak hanya yang substansial, namun juga yang non-substansial termasuk jiwa patriotisme harus juga dikedepankan. Tim perunding Indonesia harus mampu menandingi semangat kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan sikap Indonesia yang jelas, Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk “mempertahankan” teritorial dan kedaulatan. Padahal yang dimaksud “teritorial dan kedaulatan” tersebut masih dalam status sengketa dan masuk wilayah Indonesia. Dengan kata lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain. Sikap tegas Malaysia tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk “menantang” Indonesia. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah strategi Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut. Akhirnya dari semua itu, kemampuan Indonesia dalam berdiplomasi akan diuji kembali. Pekerjaan rumah bagi Deplu untuk mengukir sejarah kebesaran bangsa Indonesia

Sumber : https://janetfuyuko.wordpress.com/2015/05/15/kasus-ketahanan-nasional-ambalat-sengketa-indonesia-malaysia/

2.      Ketahanan bidang politik
Setiap usaha dan kegiatan baik dalam negeri maupun luar negeri yang dikategorikan sebagai hal yang membahayakan dan memecah belah persatuan dengan mengatas namakan politik. Ancaman di bidang politik dapat bersumber dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman di bidang politik dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan tekanan politik terhadap Indonesia. Intimidasi, provokasi, atau blokade politik merupakan bentuk ancaman non-militer berdimensi politik yang sering kali digunakan oleh pihak-pihak lain untuk menekan negara lain.
Ancaman yang berdimensi politik yang bersumber dari dalam negeri dapat berupa penggunaan kekuatan berupa pengerahan massa untuk menumbangkan suatu pemerintahan yang berkuasa, atau menggalang kekuatan politik untuk melemahkan kekuasaan pemerintah.
a.    Contoh kasus Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Politik
                         i.              Politik uang (money politics)
Kasus korupsi yang marak terjadi pada Pemil 2014 kemaren, banyak partai politik yang melakukan politik uang ini dengan cara konvensional yaitu dengan memberikan sejumlah uang maupun barang.
                       ii.              Politik SARA
Politik sara adalah politik yang mengeksplorasikan perbedaan agama dan etnis bahkan ideologi. Contoh kasusnya adalah puluhan orang yang mengaku warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan berdemo menolak Lurah  Susan dengan alasan agama Lurah Susan yang dilantik sebagai Lurah Lenteng Agung  baru-baru ini merupakan produk kebijakan lelang lurah dari Gubernur DKI Jakarta, Jokowi  penolakan atas Lurah Susan atas alasan agama sangatlah tidak tepat.
                     iii.              Politik Oligarki
Oligarki adalah bentuk pemerintahan berikut sistem politik yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh satu kelompok ataupun golongan masyarakat. Baik dibedakan menurut keluarga ataupun kekayaan. Ini merupakan pelanggaran dalam hal demokrasi. Demokrasi ini memiliki dua dimensi.
Sebagai kasus contohnya, berkaitan dengan kasus suap yang ditijikan kepada Ratu Atut dan adiknya Tubagus (Wawan), yang ternyata memiliki Dinasti Politiknya sendiri, diantaranya Kakak Tri Atut sebagai Walikota Tanggerang Selatan, Kakak Tri Atut menjadi Walikota Serang, dan anak tirinya Hervani yang menjadi wakil bupati Pandeglang. Hal ini menimbulkan kontroversi karena sistem politik di Banten ridak lagi murni atas nama domokrasi.
                     iv.              Penyerangan batas wilayah negara
Kasus Ambalat. Ambalat adalah blok laut yang terletak di Laut Sulawesi dan Selat Makasar di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah Malaysia dan Kalimantan Timur. Persoalan klaim dimulai saat adanya perjanjian Tapal Batas Kontonental Indonesia yang ditanda tangani oleh Indonesia dan Malaysia. Namun Indonesia akhirnya melihat hal tersebut sebagai ekspansi terhadap wilayah Indonesia dan mengurangi kedaulatan NKRI.



3.      Ketahanan bidang ekonomi
Pengertian ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu penentu posisi tawar setiap negara dalam pergaulan Internasional.ancaman ekonomi dibagi menjadi 2 yaitu :
                    i.          Ancaman Internal, dapat berupa inflasi, pengangguran, infranstruktur yang tidak memadai, dan sistem ekonomi yang tidak jelas.
                  ii.          Ancaman Eksternal, dapat berbentuk kinerja ekonomi yang buruk, daya saing rendah, ketidak siapan menghadapi globalisasi, dan tingkat ketergantungan pada pihak asing.
b.    Contoh kasus Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Ekonomi
                         i.              Inflansi harga baju mendekati hari raya Idul Fitri
Mendekati hari raya Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong ke pasar atau mall untuk membeli baju lebaran. Ketika sebelum lebaran harga baju tersebut Rp 50.000,00. Karena pedangang mengambil kesempatan itu untuk memperoleh laba yang lebih tinggi, maka pedagang menaikkan menjadi Rp 75.000,00 dan menambah pasokan barang yang dijual. Mau tidak mau sang pembeli menyetujuinya meskipun harganya lebih tinggi Rp 25.000,00. Kejadian seperti ini dikatakan sebagai Demand Pull Inflation.
                       ii.              Ketergantungan pada pihak asing
Indonesia merupakan salah satu dari negara yang menyimpan banyak kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah minyak bumi. Wilayah di Indonesia yang menghasilkan minyak bummi begitu banyak, antara lain: Irian Jaya, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Riau merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di Indonesia bahkan Laut Jawa yang merupakan daerah perairan juga ikut menghasilkan sumber daya tersebut. Akan tetapi banyaknya daerah penghasil minyak bumi di Indonesia belum menjamin ketercukupan dan murahnya harga minyak di Indonesia sendiri.
Sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi seharusnya Indonesia dapat mencukupi kebutuhan minyak dalam negerinya sendiri. Akan tetapi Indonesia harus mengimport minyak dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Padahal di negeri tercinta ini banyak kantong-kantong minyak bumi yang masih belum dijamah oleh pemerintah
4.      Ketahanan bidang sosial budaya
Pengertian Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Sosial Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
a.           Contoh kasus Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Budaya
                    i.          LBGT
Perilaku dari para pelaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) semakin mengkhawatirkan. Belakangan, para pelaku LGBT seakan tidak takut lagi menunjukkan perilaku menyimpang mereka dan menentang pelarangan LGBT.Keberanian para pelaku dalam menyuarakan dukungan atau dorongan untuk melegalkan perilaku LGBT, harus diakui banyak diinspirasi negara-negara barat. Apa yang terjadi di Amerika Serikat menjadi yang paling menginspirasi, lantaran pemerintah AS telah mensahkan perilaku LGBT menjadi kegiatan yang legal.
Banyak yang berpendapat kalau legalisasi yang dilakukan negara-negar barat, khususnya Amerika Serikat, tidak berangkat atau didasarkan dari norma etika dan agama. Ia menilai, legalisasi perilaku LGBT di negara-negara tersebut semata didasarkan pada pendekatan sekularis ateistik, yang tentu bertentangan dengan norma-norma yang agama.
2. Negeri Jiran Malaysia mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai miliknya
Malaysia mengklaim dan mempatenkan batik motif “Parang Rusak”, angklung, wayang kulit hingga rendang.  Sehingga Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar menyatakan bahwa pemerintah telah mendaftarkan batik dan angklung ke UNESCO, sebagai masterpiece world heritage.  Langkah ini merupakan reaksi setelah munculnya klaim tersebut.
3.    Pada acara “Kemilau Nusantara 2007” di Bandung, Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Abdul Azis Harun, mengancam mengklaim Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Melayu. “Bahasa Melayu adalah Bahasa Malaysia,” katanya. Ancaman tersebut akan dilaksanakan bila masyarakat dan Pemerintah Indonesia  masih mempermasalahkan klaim Malaysia terhadap lagu “Rasa Sayange”  yang dibuat di Malaysia pada tahun 1907 dan tari Barongan.
                         i.              Lagu yang sangat mirip “Rasa Sayang” menjadi soundtrack iklan pariwisata Malaysia yang dicurigai diambil dari lagu “Rasa Sayange”. Lagu ini pernah di-upload di situs resmi pariwisata Malaysia, dan disiarkan oleh televisi-televisi di Malaysia. Klaim ini menuai kecaman hebat dari masyarakat Indonesia hingga DPR. Tapi Malaysia sempat berdalih lagu tersebut sudah terdengar di Kepulauan Nusantara sebelum lahirnya Indonesia. Sehingga tak bisa diklaim sendiri oleh Indonesia. Demikian juga lagu “Indang Bariang” yang merupakan lagu asal daerah Sumatera tersebut.
                       ii.              Para seniman Ponorogo kaget oleh munculnya Tari Barongan yang sangat mirip Reog Ponorogo. Padahal Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan Reog Ponorogo dan mendapatkan Hak Cipta No.026377 pada 11 Februari 2004.  Oleh Malaysia, tarian ini diberi nama Tari Barongan. Website Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia pernah memampangnya dan menyatakan tarian itu  warisan dari Batu Pahat, Johor dan Selanggor Malaysia.

5.      Ketahanan bidang pertahanan dan keamanan
a.    Pengertian Pertahanan dan Keamanan Negara
Pertahanan negara disebut juga pertahanan nasional adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
b.    Contoh kasus  Ancaman Integrasi Nasional Dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara
                         i.              Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
                       ii.              Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.
                     iii.              Tersebarnya dokumen-dokumen rahasia milik pribadi atau pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membuat ketidaknyamanan pada masyarakat.
                     iv.              Penyadapan bukti  ketahanan Indonesia kurang karena kurangnya penguasaan teknologi yang semakin maju. Penyadapan adalah masalah yang mengancam keamanan baik dari individu maupun orang banyak. Penyadapan ini pula berkaitan dengan sila ke-dua dan ke-lima.


6.      Solusi untuk sistem ketahanan nasional
Oleh karena itu, Ketahanan dan kekuatan nasional sangat menentukan peranan negara dalam perkembangan dunia internasional. Namun demikian tidak berarti bahwa suatu negara harus memiliki secara mutlak keseluruhan dari unsur-unsur ketahanan dan kekuatan nasional tersebut. Selain dari unsur-unsur Ketahanan dan kekuatan nasional yang  dimiliki oleh suatu negara, maka faktor lain yang sangat mempengaruhi Ketahanan dan kekuatan nasional yang berkaitan dengan unsur-unsur Ketahanan dan kekuatan nasional tersebut adalah bagaimana suatu negara mampu mengelola dan memanfaatkan dari unsur-unsur Ketahanan dan kekuatan nasional tersebut. Sehingga suatu negara dapat turut berperan dalam percaturan dunia internasional.

Budaya Nasional merupakan aset Bangsa Indonesia yang harus memperoleh perhatian terutama di era Globalisasi saat ini. Budaya nasional menjadi bagian penting negara Indonesia yang dapat dikembangankan dan dikelola sebaik-baiknya. Itu penting agar dapat berfungsi lebih luas tidak hanya sekadar warisan ataupun adat istiadat masyarakat Indonesia yang dirayakan ataupun dilaksanakan pada saat peringatan hari Sumpah Pemuda atau hari Pahlawan saja. Budaya nasional harus menjadi bagian dari aset Bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan negara. Tentunya perlu ada suatu kesadaran secara nasional dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara

7.      Saran dan Pesan
Ancaman merupakan setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan suatu negara. Kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai ancaman tersebut agar keutuhan NKRI tetap terjaga. Kewaspadaan terhadap ancaman diberbagai bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Kita harus menjaga keutuhan NKRI sebagai wujud persatuan dan kesatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar